Bismillah.
Hidayah adalah nikmat yang sangat agung. Dengan sebab itulah seorang hamba masuk ke dalam Islam dan masuk ke dalam surga. Akan tetapi hidayah tidak bisa dibeli dengan harta. Hidayah itu milik Allah, Allah berikan kepada siapa yang dikehendaki-Nya.
Tidak peduli orang kota atau orang desa, petani, buruh atau karyawan swasta. Kalau Allah berkehendak beri hidayah maka siapa saja bisa mendapatkannya, tetapi kalau Allah menghalangi hidayah itu dari seorang hamba maka sebanyak apapun hartanya tidak akan mau dia gunakan dalam kebaikan dan ketaatan karena dia tidak diberi hidayah oleh Rabbnya.
Banyak orang lebih senang larut dalam kesesatan karena dia tidak mendapatkan hidayah Allah. Bukan karena Allah ingin mengajak manusia ke lembah neraka, tetapi si hamba itulah yang menolak hidayah dan lebih merasa percaya diri dengan akal pikirannya yang dangkal dan perasaannya yang serba lemah dan penuh kekurangan. Dia tidak bersandar kepada Allah, tetapi kepada kemampuan dirinya sendiri. Dia bergantung kepada selain Allah, maka Allah pun tinggalkan dirinya.
Allah berfirman (yang artinya), “Maka barangsiapa yang mengikuti petunjuk-Ku niscaya dia tidak akan tersesat dan tidak pula celaka.” (Thaha : 123)
Allah berfirman (yang artinya), “Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.” (ad-Dzariyat : 56)
Allah telah menerangkan di dalam Kitab-Nya untuk apa Allah menciptakan jin dan manusia. Allah menciptakan mereka agar mereka tunduk kepada perintah dan larangan-Nya; dengan itulah mereka akan selamat dari kesesatan dan berbahagia pada hari pembalasan.
Tidaklah Allah ciptakan alam semesta ini sia-sia. Allah menciptakan kematian dan kehidupan dalam rangka menguji manusia dan menunjukkan siapakah yang mau taat kepada Allah dan siapakah yang lebih memilih untuk menjadi antek Iblis dan pemuja hawa nafsunya. Allah berfirman (yang artinya), “[Allah] Yang menciptakan kematian dan kehidupan untuk menguji kalian; siapakah diantara kalian yang terbaik amalnya.” (al-Mulk : 2)
Allah mengutus para rasul untuk mengajak manusia beribadah kepada Allah dan meninggalkan sesembahan selain-Nya. Allah berfirman (yang artinya), “Dan sungguh Kami telah mengutus kepada setiap umat seorang rasul yang menyerukan; Sembahlah Allah dan jauhilah thaghut.” (an-Nahl : 36)
Tidak sedikit manusia yang lebih gandrung kepada thaghut dan menjadikan hawa nafsunya sebagai sesembahan. Tidak sedikit pula manusia yang lebih senang hanyut dalam fatamorgana dan mencampakkan akhirat di belakang punggungnya. Mereka menjual agamanya demi mendapatkan serpihan-serpihan dunia yang menipu dan memperdaya.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Seandainya anak Adam memiliki dua lembah emas niscaya dia akan mencari lembah emas yang ketiga, dan tidak akan memenuhi/menyumpal rongga perut anak Adam /sifat rakusnya selain tanah/kuburan.” (HR. Bukhari)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Bersegeralah dalam beramal sebelum datangnya fitnah-fitnah seperti potongan malam yang gelap gulita; pada pagi hari seorang masih beriman sementara sore harinya menjadi kafir atau sore hari beriman lalu pagi harinya menjadi kafir. Dia menjual agamanya demi mencari kesenangan dunia.” (HR. Muslim)
Inilah sifat dan karakter jiwa yang telah terbutakan mata hatinya dari kebenaran. Mereka yang melihat hidayah sebagai kebatilan dan memandang kebatilan sebagai jalan kebahagiaan. Subhanallah! Mahasuci Allah yang membolak-balikkan hati hamba-Nya… Bukan penglihatan fisik yang buta tetapi penglihatan hati itulah yang buta; apa yang ada di dalam dadanya…
Saudaraku yang dirahmati Allah, hati kita butuh kepada hidayah Allah jauh lebih besar daripada kebutuhan badan kita kepada makanan dan minuman. Karena hidayah itu adalah ruh amal ketaatan dan penggerak keimanan. Tidak ada hidayah maka tidak ada ketaatan. Tidak ada hidayah maka tidak ada gerakan iman; apakah itu ucapan lisan, keyakinan hati, atau perbuatan badan.
Coba anda cermati apakah seorang Qarun menjadi orang yang bahagia dan menempuh jalan hidayah dengan hartanya yang berlimpah ruah? Apakah dia sanggup membeli hidayah itu dengan hartanya? Bagaimana dengan Fir’aun dengan kekuasaan dan bala tentaranya apakah bisa memasukkan cahaya hidayah ke dalam hatinya? Apakah dengan kekuasaan yang begitu besar membuat mereka mau bertekad membela dakwah tauhid; atau justru malah memusuhinya? Apakah Fir’aun mampu membeli hidayah yang diperoleh para pengikut para nabi yang hanya rakyat jelata? Ataukah justru dia bersikap melampaui batas dan menolak hidayah dan bahkan memeranginya?!
Kita di zaman ini hidup di masa orang serba dimudahkan. Akan tetapi kemudahan itu tidak serta merta membawa orang kepada kebaikan. Jalan raya yang halus, mulus, lebar, dan kokoh; apakah itu bisa menjamin bahwa orang yang berjalan di atasnya mau melangkahkan kakinya menuju masjid dan bersedekah di jalan Allah? Ataukah justru banyak orang yang menggunakan jalan raya untuk kebut-kebutan membuat keonaran, tawuran, berjalan menuju tempat-tempat yang tidak Allah ridhai? Jadi, yang menjadi sumber perkara bukanlah jalan raya itu; sebab yang menjadi masalah adalah ketika orang tidak mengikuti hidayah dan lebih memperturutkan hawa nafsunya maka jalan yang seharusnya memudahkannya untuk berbuat kebaikan justru mengantarkan dirinya menuju lembah maksiat, jurang dosa, dan belantara kemungkaran, wal ‘iyadzu billah…
Bukankah Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Dua nikmat yang kebanyakan orang tertipu/merugi padanya; yaitu kesehatan dan waktu luang.” (HR. Bukhari)
Di masa ini kita bisa mengetahui bahwa kesehatan itu sangat mahal. Begitu banyak biaya yang harus dikeluarkan untuk mengobati suatu penyakit dan besarnya biaya yang dikeluarkan untuk merawat kesehatan. Hal itu sudah dimaklumi dan diketahui oleh masyarakat awam sekalipun. Begitu pula nikmat waktu, sampai-sampai orang barat saja punya semboyan waktu adalah uang; hal itu menunjukkan waktu adalah sesuatu yang sangat penting dan berharga bagi mereka….
Akan tetapi lihatlah di dunia kenyataan sehari-hari; apakah dengan Allah berikan kepada manusia kesehatan dan waktu luang kemudian secara otomatis orang berbondong-bondong menghadiri pengajian, berapi-api untuk membuka kitab suci dan membasahi lisan dengan dzikir dan giat beramal salih? Ya, ternyata tidak demikian. Banyak orang dengan waktunya justru merusak dirinya sendiri dengan narkoba, dengan rokok, dengan kerusakan akhlak dan aqidahnya. Padahal Allah berikan kepada mereka waktu yang sama dalam sehari semalam; 24 jam! Yang satu menggunakan waktu itu untuk kebaikan dan ketaatan, sementara yang satu hanyut dalam kelalaian…
Di mana letak masalahnya? Ya, karena mereka tidak mendapatkan sesuatu yang paling berharga di dunia ini; yaitu hidayah meniti jalan yang lurus. Hidayah ini lebih mahal dari seluruh perbendaharaan dunia. Buktinya, orang kafir di akhirat tidak bisa menebus azab neraka walaupun seandainya mereka memiliki dunia seisinya bahkan dua kali lipatnya; lantas apa yang membuat anda berbangga dan pongah dengan harta dunia dan kemewahan yang di sisi Allah tidak lebih berharga daripada sehelai sayap seekor nyamuk? Inilah kiranya yang membuat para sahabat nabi tidak silau dengan dunia, dan tidak goyah imannya karena kekurangan materi atau krisis ekonomi… Karena bagi mereka hidayah itu di atas segala-galanya. Mereka tidak mau menukar hidayah itu walaupun dengan segala perhiasan dunia, walaupun matahari di tangan kanan dan bulan di tangan kirinya… Mereka tidak akan mundur dari jalan hidayah ini; karena sadar bahwa itulah sumber kebahagiaan manusia…
Abu Yahya Malik bin Dinar rahimahullah pernah berkata, “Telah keluar para pemuja dunia dalam keadaan belum merasakan sesuatu yang paling baik di dalamnya.” Orang-orang bertanya, “Wahai Abu Yahya, apakah itu yang terbaik di dunia?” beliau menjawab, “Mengenal Allah ‘azza wa jalla.”